“sudah tidak ada jalan lagi, kita
harus membunuhnya…”
Suasana mendadak hening.
Kicauan burung tak semerdu biasa. Lazuard imendadak kelam tatkala
senandung kepedihan berdendang. Angin menebarkan kekhawatiran hingga ke penjuru
bumi. Akankah kenistaan insane akan mengoyakkan segalanya atau haruskah pertumpahan
amarah yang menyadarkannya?
“baiklah apa yang harus kita lakukan?”
“Aku punyagigi yang tajam. Aku bisa mengoyak tubuhnya hingga keluar
seluruh isi di perutnya….”
“aku juga mampu membuatnya tak berdaya.
Dengan tubuhku, aku mampu melilitnya hingga
mereka kesulitan bernapas dan akhirnya mereka mati mengenaskan…lalu bagaimana denganmu?”
“aku…aku tidak tahu..”
“haahh.. bodoh. Tidakkah kau tahu?
Kau adalah korban utama di sini. Jika mereka terus mengganggu kita, mungkin 5
atau 10 tahun lagi tidak akan ada generasi penerus kita. Apakah kau mau seperti
itu?”
“tentu saja aku tidak mau…”
“bagus kalau begitu. Lalu apa
yang akan kau lakukan?”
“baiklah aku akan melakukan dengan
caraku sendiri…”
“tapi tunggu, apa rencanamu? Kami
akan membantumu..”
Aku terdiam. Ah memang benar. Sudah tak seperti sedia kala. Bumi
seakan enggan tatkala kaki ini berpijak. Dan alam yang begitu panas.
Ku teruskan menyusuri
jalan ini. Entah apa yang aku lakukan. Semuanya tak dapat tertafsirkan.
“hai berhenti..”
Langkah ini mendadak terkunci. Ku menoleh sejenak dan tersentak.
“hai…”
“apakah yang kau lakukan disini?”
“aku tidak melakukan apa-apa..”
“kalau begitu lekas pergilah atau
kau akan celaka…”
“tapi mengapa ikan? Bukankah kita
sahabat?”
“ maafkan aku kawan, ini karena ulah kalian. Karena kalianlah kami kehilangan tempat
tinggal yang nyaman…”
“tapi itu bukan aku. Aku tidak seperti
mereka..”
“sama saja. Karena kalianlah aku kehilangan
keluargaku. Bahkan kalian dengan tega menyengat ibuku dengan listrik. Itu sungguh
kejam kawan..”
“maafkan kami, kami janji kami
tidak akan mengulanginya lagi”
“tapi semuanya sudah terlambat.
Lekas pergilah sebelum teman-temanku menemukanmu…”
“tapi kemana aku harus pergi? Aku
sungguh tidak tahu tempat ini. Aku tersesat..”
“cepat pergilah! Maaf aku tidak bisa
membantumu kali ini..”
Kakiku bergetar. Entah apa yang harus ku lakukan. Dan
berlari.
“tunggu… sekarang kau tidak bisa
lari!!!”
Aku terhenti seketika. Buaya-buaya ganas serentak menghadangku.
Tanpa banyak pikir, aku langsung berbalik arah. Saat ku berlari,
sejenak ku menoleh ke belakang. Terlihat buaya dan ular berbondong-bondong mengejarku.
Seakan mencoba unjuk kebolehan. Entah siapakah yang akan memperoleh sabuk kemenangan
di arena memilukan ini.
“hai.. tunggu…sekalipun kau pergi,
kau akan tetap berakhir di perut kami,
manusia bodoh….”
Aku tak menghiraukannya.Aku terus berlari. Hingga akhirnya….
Brukk…
Aku terjatuh. Tidak.Mereka semakin dekat.
Apa yang harus ku lakukan? Haruskah aku berakhir seperti
ini?
Aku mencoba berdiri dengan susah payah. Dengan napas yang
tinggal separuh, ku paksa bawa tubuh ini melenggang kemana pun itu.
“ kemari lah manusia, aku akan menolongmu…”
Aku mengamati sekeliling. Tidak ada
siapa-siapa. Hanya gemericik air.
“siapa kau, ku mohon tolong aku…”
“keluarlah, aku di sini…”
“air, apakah kau air?”
“iya… aku air. Percayalah aku akan
menolongmu”
“aku tidak percaya. Kau tidak sebening
dulu. Bagaimana mungkin aku mempercayaimu?”
“ siapa tahu di dalam air kotormu
terdapat buaya-buaya ganas… tidak. Aku tidak mau”
“iya, dulu aku bening dan jernih.
Tapi kini aku jelek…aku kotor…dan aku tak
seindah dulu. Tapi percayalah, aku benar-benar akan menolongmu. Tidakkah kau lihat,
mereka telah menemukanmu. Mungkin sebentar lagi kau akan menjadi santapannya…”
Bimbang.
“tapi mengapa kau menolongku? Bukankah kami yang telah merusakmu? Dan bukankah kami yang telah membuatmu kotor seperti
ini?”
Air pun tersenyum.
“karena aku adalah air. Bening atau
tidaknya aku akan tetap mengalir. Meski buruk
perlakuan mereka terhadapku, namun tetap saja mereka tak bisa hidup tanpa aku.
Dan aku tak bisa mengelaknya..”
“tapi…”
“percayalah. Aku adalah bagian dari
kehidupanmu. Aku akan menyelamatkanmu…”
Saat ku tengok ke belakang. Tidak mungkin. Buaya dan ular semakin
mendekat merayap.
“hai manusia, kau mau lari kemana?
Menyerahlah sekarang. Lihatlah di depan sana. Jika kau terjun ke sungai hitam itu
tetap saja kau akan diterkam oleh buaya…haha”
Aku masih tak menghiraukannya.
“baiklah air. Aku akan mempercayaimu.
Tolong selamatkan aku kali ini…”
“bagus. Pilihan yang tepat…”
“lalu bagaimana aku harus membalas
kebaikanmu?”
Air pun kembali tersenyum.
“cukup kembalikan aku seperti dulu.
Yang bening. Yang dicintai banyak orang…”
Saat buaya hendak mengambil ancang-ancang dengan membelalakkan
mulutnya, dan saat ular mencoba melilitkan tubuhnya ke kakiku… dan saat itulah…
Byurrr….
Segar. Nan basah.
“hai Samsul, cepat bangun!
Bagaimana mungkin kau bisa tidur di
saat banjir seperti ini.. Ayoo cepat bangun!!!”
Saat ku membuka mata. Aku pun tersenyum.
“ah.. air memang benar. Dan kini aku
bermimpi lagi”.
Enik/ Matematika 2010
Pemenang lomba cerpen dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar